Thomas
Igo Udak: Mereka Panggil Saya Petani Gila
DI era 1980-an, wilayah Desa Paubokol,
Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), belum banyak
dihuni warga. Perbukitannya tandus dan hanya ditumbuhi rumput ilalang dan
tanaman perdu untuk menahan terik matahari. Lahan itu dinilai petani terlalu
tandus untuk bercocok tanam.
Kondisi gersang memaksa warga bermigrasi ke kota lain. Tetapi, kini lahan tandus itu sudah berubah menjadi hutan jati. Semua berkat kerja keras Thomas Igo Udak.
Pemuda
kelahiran Uruor, 7 Maret 1963, itu kembali ke Desa Paubokol setelah mengecap pendidikan
di Flores. Thomas pergi meninggalkan desanya untuk melanjutkan sekolah di
Sekolah Teknik Menengah (STM) Bina Kusuma Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Di
Flores yang relatif subur, Thomas melihat kondisi sejumlah petani terutama di
Desa Mano, Kabupaten Manggarai Timur, yang memiliki kebun cengkih dan mampu
menghidupi keluarga mereka secara layak. Melihat itu, Thomas yang bercita-cita
menjadi arsitek mengubah niatnya.
"Saat
itu saya melihat ada kecocokan antara Desa Mano dan desa saya, Paubokol. Tetapi
pertanyaannya, bagaimana mungkin petani di sini mampu membuat rumah yang bagus
dan menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana, sedangkan di kampung saya
tidak bisa?" ujar Thomas retoris.
Terinspirasi
Pastor Wesser, pengajar di STM Bina Kusuma yang membiayai gereja di Manggarai
dengan menanam ribuan pohon cengkih dan berbagai jenis tanaman kayu-kayuan
lain, Thomas menapaki jejaknya. "Sejak Pastor Wesser asal Belanda itu
berhasil menanam cengkih, seluruh biaya dari negerinya diputus total karena pembiayaan
di paroki tersebut hanya bertumpu dari hasil menjual cengkih dan jati di
wilayah tersebut," kata Thomas.
Puas
menimba ilmu, Thomas yang baru lulus STM pada 1986 itu membulatkan tekad
kembali ke kampung halamannya. Ia ingin merubah lahan tidur di desanya.
"Saya
sangat ingin mengubah tanah-tanah saya di desa yang dibiarkan telantar menjadi
lahan tidur dan hanya ditumbuhi semak belukar yang kering kerontang,"
ujarnya.
Thomas
mengaku tanah warisan orangtuanya banyak. Tetapi tidak banyak digarap oleh
keluarganya. Keluarganya ingin menanam sayur, ubi, pisang, padi, dan jagung,
tetapi wilayah itu kurang mendukung niat mereka untuk bertani.
"Prinsip
mereka tanam sayur mayor, ubi, pisang lebih cepat menghasilkan uang untuk bisa
biayai kebutuhan makan sehari-hari," kata Thomas.
Pohon
jati
Saat
Thomas kembali dari Manggarai, di desanya sudah memasuki musim penghujan. Ia
mulai menanam pohon jati di belakang rumahnya.
Warga
desa disibukkan menanam padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-mayur, namun tidak
demikian dengan Thomas. Pemuda itu sibuk memikul anakan pohon jati dari Waikomo
yang berjarak 6 km dari desanya. Semua anakan jati itu dibawa Thomas dengan
berjalan kaki di bawah guyuran hujan lebat menuju rumahnya.
"Sehari
saya bisa bolak-balik untuk memikul anakan jati empat kali sehingga kerabat dan
saudara-saudara sekampung saya bilang, Thomas sudah gila. Mereka heran karena
saya bukannya tanam ubi, jagung, atau padi seperti yang mereka lakukan. Justru
mereka menilai saya sudah gila karena akan makan daun jati," kata Thomas
menirukan cibiran warga desa saat itu.
Penghinaan
itu tidak Thomas acuhkan. Ia tetap fokus menghijaukan lahan gersang tersebut.
Thomas teringat apa yang dikatakan Pastor Wesser, "Kalau mau sukses, fokus
dan tanam dalam jumlah besar. Jangan kerja tanggung-tanggung." Kalimat itu
terus-menerus menyemangati Thomas menanami kebun warisan keluarganya. "Karena
saya harus membuktikan kepada warga desa bahwa saya benar-benar waras, ingin
mengubah lahan tandus dan kering ini dengan hutan jati yang tidak saja
menyuplai oksigen untuk manusia, tetapi juga mengubah keadaan gersang menjadi
lebih sejuk. Terus terang saat itu saya tidak bermimpi menjadi kaya dengan kayu
jati yang saya tanam ini."
Mulai
dilirik
Seiring
waktu, kayu-kayu yang ditanamnya mulai dilirik pemerintah setempat sebagai
sampel pengolahan lahan tidur, dan banyak orang ingin membeli pohon-pohon jati
yang ditanam. "Karena sudah banyak yang berkurang, saya mencari lahan baru
untuk ditanami setiap musim hujan tiba," ujarnya. Thomas
awalnya hanya menanam di lahan seluas 1 hektare. Karena banyak permintaan kayu
jadi, ia kemudian meminta bantuan warga. Ia menggunakan tenaga warga desa untuk
menanam lebih banyak lagi kayu jati di lahan kebun miliknya.
"Saya
bayar tenaga per hari Rp30 ribu. Kerabat dan warga desa tidak keberatan bekerja
membantu menanam jati di kebun-kebun saya karena mereka ingin dapat uang upah
harian. Bagi saya menanam itu menabung," kata Thomas.
Berkat
usaha swadayanya itu, kini sedikitnya 20 hektare lahan dipadati tanaman jati
yang sebagian besar sudah dipanen. Bukan semata pohon jati yang ditanam,
melainkan juga pohon mahoni.
"Menurut
penelitian ahli tanaman, pohon jati sangat mengisap air, maka saya selingi
dengan tanam mahoni karena sifat mahoni ialah menampung air," ujarnya
menirukan saran para ahli tanaman komoditas dalam kesempatan kunjungan mereka
ke lahan jati yang sudah bisa ditanami.
Berkat
kegigihan menghutankan lahan tidur di wilayahnya, suami Maria Kewa Wutun itu
meraih berbagai penghargaan di bidang lingkungan hidup. Antara lain penghargaan
dari Bupati Lembata pada 2004 dan penghargaan Penghijauan Swadaya kategori
perorangan tingkat Kabupaten Lembata.
Tidak
hanya itu, pada 2006 Gubernur NTT Piet Alexander Tallo menganugerahkan
penghargaan sebagai pengelola lingkungan (kalpataru) tingkat provinsi karena
telah melaksanakan penghijauan pada lahan kritis secara swadaya.
Di
tahun yang sama, Thomas meraih penghargaan Kalpataru kategori terbaik pertama
nasional bidang penghijauan dan konservasi alam dari Departemen Kehutanan
RI.
Thomas
berharap pemerintah harus memotivasi warga Lembata untuk terus menanam. Pasalnya
Lembata yang masih kering dan panas itu hanya mampu disejukkan dengan menanam
dan menanam.
"Kalau
dapat, pemerintah kabupaten, provinsi, dan Indonesia secara umum menirukan gaya
Raja Thailand, yang menghadiahi warganya dengan berbagai jenis tanaman dalam
setiap kunjungannya, untuk memotivasi warga tanam dan tanam karena dengan
menanam kita juga sedang menabung," ujar Thomas antusias.(M-5)
sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/05/353353/270/115/Mereka-Panggil- Saya-Petani-Gila